Iuran BPJS Kesehatan
peserta kelas mandiri resmi naik hingga dua kali lipat mulai 2020 mendatang.
Ini artinya,
dari iuran yang berlaku saat ini.
Peserta kelas I harus mulai merogoh Rp160 ribu per bulan mulai awal tahun
depan, dari yang sebelumnya Rp80 ribu per bulan. Harga tersebut berlaku bagi
peserta mandiri kelas I.
Untuk kelas II, kenaikannya dari Rp51 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu per
bulan. Kemudian, kelas III dari Rp25.500 per bulan menjadi Rp42 ribu per bulan.
Kalau dilihat-lihat, iuran untuk peserta mandiri kelas I sudah mendekati tarif
di perusahaan asuransi swasta.
salah satu perusahaan asuransi swasta menawarkan premi sebesar Rp3,6 juta per
tahun untuk salah satu produk kesehatannya. Bila dibagi per bulan, maka nasabah
perlu membayar Rp300 ribu per bulan. Selisih dengan iuran BPJS peserta mandiri
kelas I sekitar Rp140 ribu jika dibandingkan dengan iuran tahun depan.
Padahal, sebelum kenaikan
iuran, selisih iuran BPJS kelas I dan asuransi swasta sekitar Rp220 ribu.
Perusahaan asuransi swasta tersebut menawarkan layanan rawat inap dan
rawat jalan, santunan tunai harian, perlindungan jiwa, dan investasi.
Peserta yang ingin daftar minimal berusia 18 tahun dengan masa pertanggungan
hingga usia 85 tahun. Selain itu, ada juga perusahaan asuransi yang menawarkan
produk kesehatan dengan minimal premi Rp100 ribu per bulan.
Namun, manfaat yang didapat tertulis hanya penggantian biaya rawat inap di
rumah sakit dan pengembalian 30 persen dari premi yang telah dibayarkan.
Kepala Departemen Investasi Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Iwan Pasila
mengungkapkan perusahaan asuransi swasta biasanya menawarkan produk yang
mengutamakan kenyamanan bagi nasabah.
Dengan harga yang lebih mahal
dari BPJS Kesehatan, nasabah dipastikan tak perlu menunggu lama untuk
mendapatkan pelayanan.
"Kalau dari perusahaan keunggulannya nasabah tidak perlu menunggu lama.
Tidak perlu menunggu rujukan, langsung tunjuk rumah sakit yang mana," ucap
Iwan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (31/10).
Berbeda dengan BPJS Kesehatan, di mana peserta tak bisa langsung mendapatkan
pelayanan di rumah sakit jika memang tidak darurat. Mereka harus melewati
berbagai proses, misalnya ke klinik sebagai fasilitas kesehatan (faskes) 1.
Bila kemampuan klinik terbatas untuk mengobati peserta, baru dokter merujuk
peserta ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan lebih lanjut. Rujukan pun
dengan catatan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Kendati begitu, bukan berarti perusahaan
asuransi swasta 100 persen memberikan keuntungan lebih banyak ketimbang
BPJS Kesehatan. Iwan menyatakan penjaminan yang diberikan perusahaan swasta
terbatas daripada BPJS Kesehatan.
"Misalnya, hanya penyakit-penyakit tertentu yang bisa mendapatkan
penjaminan dari perusahaan asuransi, ada batasan-batasan yang diatur,"
tutur dia.
Sementara, BPJS Kesehatan hampir menjamin seluruh penyakit hingga kategori
kritis, seperti jantung, ginjal, dan kanker. Dengan kata lain, manfaat yang
diterima dari BPJS Kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan
asuransi swasta.
"Makanya, sebenarnya tidak bisa dibandingkan premi. Apa yang dijaminkan
BPJS Kesehatan besar sekali, mungkin tidak ada asuransi di dunia yang bisa
kalahkan BPJS Kesehatan untuk luasan jaminannya," ungkap Iwan.
Senada, Ketua Bidang Advokasi
BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan seleksi yang dilakukan oleh perusahaan
asuransi swasta pun lebih ketat. Beberapa perusahaan asuransi memasang maksimal
rentang usia yang bisa menjadi nasabah.
Biasanya di atas 70 tahun sudah sulit menjadi nasabah di perusahaan asuransi
swasta. Berbeda dengan BPJS Kesehatan yang menerima seluruh masyarakat menjadi
peserta, baik yang sudah lansia sekalipun.
Kemudian, perusahaan asuransi swasta juga akan melakukan cek kesehatan terlebih
dahulu kepada calon nasabah. Pasalnya, perusahaan tak bisa menjamin seluruh penyakit.
"Nasabah harus terseleksi, ada perusahaan yang tidak menerima mereka yang
sakit ginjal. Tapi kalau BPJS Kesehatan sampai kondisi mau meninggal masih
diterima," terang Timboel.
Diketahui, seluruh peserta BPJS
Kesehatan akan mendapatkan pelayanan yang sama dari segi pelayanan medis,
seperti obat hingga operasi. Perbedaan hanyalah pelayanan nonmedis berupa kamar
inap. Peserta mandiri kelas I akan mendapatkan hak untuk menempati rawat inap
kelas I. Begitu juga dengan peserta mandiri kelas II dan III, kamar inap akan
menyesuaikan sesuai kelas yang dipilih.
"Jadi mau bagaimana juga BPJS Kesehatan tetap lebih baik daripada
perusahaan asuransi swasta. Tidak ada plafon untuk penyakit, hampir semua
dijamin," tegasnya.
Sementara itu, Perencana Keuangan dari OneShildt Financial Planning Budi
Raharjo menyatakan pemilihan asuransi bagi masyarakat sejatinya menjadi hak
masing-masing pribadi. Pemerintah memang mewajibkan seluruh masyarakat untuk
menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Namun, jika tak puas, maka masyarakat bisa menambahnya dengan membeli polis di
perusahaan asuransi swasta. Itu semua bergantung dari kondisi keuangan
masyarakat.
"Kalau arus kas (cashflow) pribadi pas-pasan, BPJS
Kesehatan sudah cukup," ujar Budi.
Dia menilai BPJS Kesehatan sudah menjamin hampir semua penyakit. Namun, kalau
membutuhkan kenyamanan lebih yang tak didapatkan dari BPJS Kesehatan,
masyarakat sah-sah saja untuk memiliki polis asuransi di perusahaan swasta.
"Kalau untuk masyarakat kelas menengah ke atas kan biasanya mengutamakan
kenyamanan. Tidak mau banyak menunggu seperti kalau di BPJS Kesehatan,"
kata dia.
Diketahui, peserta BPJS Kesehatan memang harus sabar untuk mendapatkan
pelayanan di rumah sakit. Terkadang, peserta harus antre untuk operasi atau
perawatan lain.
Hal itu jelas berbeda dengan jaminan yang diberikan oleh
perusahaan swasta yang semuanya bisa dilakukan dengan segera. Hanya saja, Budi
menambahkan, secara umum pelayanan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan sudah
cukup dan memadai.
"Segi kenyamanan saja yang berbeda, pelayanan lebih ringkas di perusahaan
swasta. Tapi tidak masalah juga dengan BPJS karena semua dijamin," pungkas
Budi.
Komentar
Posting Komentar