Tantangan di Instagram dan Facebook
#untiltomorrow sempat viral pada minggu terakhir Maret di tengah wabah virus corona Covid-19.
Tantangan ini mengajak para pemilik akun untuk mengunggah foto konyol mereka
dan diberi tanda pagar #untiltomorrow.
Foto harus tetap ada pada laman mereka, setidaknya selama satu hari sebelum
dapat dihapus. Fenomena tantangan yang cepat merebak dalam waktu kurang dari 1
minggu ini, diikuti lebih dari 3 juta posting.
Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman
Kurniawan mengatakan para ahli komunikasi dan informasi digital menduga
meroketnya tantangan ini dipengaruhi oleh kondisi Covid-19 yang membuat situasi
media sosial mencekam dan menakutkan.
Firman mengatakan masyarakat di media sosial mengalihkan diri dari informasi
Covid-19 dengan mengikuti tantangan until tomorrow.
"Masyarakat media sosial butuh informasi yang lebih segar dan mengendorkan
ketegangan mental. Masyarakat membutuhkan informasi pengalih, agar jiwanya
tetap sehat," kata Firman
Firman juga menjelaskan until
tomorrow bisa bisa dibaca sebagai dua hal. Pertama, jika dikaitkan dengan
penularan Covid-19, itulah gambaran nyata virus menyebar, menular dan
menginfeksi banyak manusia. Dalam waktu singkat, menjangkau masyarakat demikian
banyak dan cepat.
Kedua, tantangan itu bisa demikian luas dan cepat menyebar, hanya bisa terjadi
di dalam masyarakat jejaring. Firman mengatakan masyarakat jejaring atau network society banyak dikemukakan
para ilmuwan sosial.
Salah satunya adalah Manuel Castells yang mengemukakan pikirannya lewat trilogi
bukunya The Rise of Network Society,
1996-1998.
"Inti pemikirannya tentang network society adalah
terjadinya perubahan bentuk masyarakat akibat masifnya penggunaan perangkat elektronik
mikro ponsel pintar, tab, laptop dan lain-lain. Masyarakat terhubung satu sama
lain membentuk jejaring, dengan informasi sebagai bahan bakunya," ujar
Firman.
Dalam kasus until tomorrow, informasi yang kuat
di tengah konteks kejenuhan mengkonsumsi Covid-19, menyebabkan terbentuknya
jejaring pengalihan.
Firman mengatakan terbentuknya
jejaring informasi yang viral ini lebih mudah dibayangkan dengan analogi
obat nyamuk bakar. Dengan adanya pembakaran dengan arah dari dalam ke luar,
yang makin lama makin besar lingkarannya.
"Melebarnya lingkaran menggambarkan makin banyaknya orang yang diterpa
informasi sama dan terpengaruh. Tentu saja, dengan informasi yang sama itu,
timbul implikasi pembentukan persepsi yang serupa ala until tomorrow , posting
foto konyol," tutur Firman.
Pemerintah Bisa Manfaatkan Jejaring Informasi
Untuk Dorong Himbauan
Firman mengatakan kekuatan pemerintah terbatas untuk menghadapi ancaman
penularan yang luas dan cepat.
Oleh karena itu, ia menyarankan dapat dikembangkan pola komunikasi yang
berbasis masyarakat jejaring untuk mengeluarkan himbauan physical distancing, #workfromhome,
#dirumahaja hingga Pembatasan Sektor Berskala Besar (PSBB).
Pola komunikasi ini mengandalkan kelompok usia muda yang
berjumlah 35 persen dari sekitar 165 juta pengguna internet di Indonesia.
"Kemenkominfo memetakan komunitas-komunitas yang 'didengar', punya
follower banyak, kreatif memproduksi konten. Kelompok muda ini menginisiasi
pesan-pesan tunggal yang harus segera dipatuhi. PSBB ditularkan lewat komunitas
komunitas, dibuat menular seperti until tomorrow challenge,
" tutur Firman.
Firman mengatakan upaya tersebut diikuti dengan posting secara masif terkait
dipatuhinya pesan atau himbauan oleh berbagai kelompok. Sesuai
teori social proof yang dikemukakan oleh Richard Shutton, persepsi
masyarakat dapat terbentuk berdasar bukti sosial kepatuhan masyarakat
mayoritas.
"Jadi jika hari ini PSBB, psysical distancing atau #dirumahaja yang
dianggap kebenaran untuk mencegah penularan Covid-19, maka gaungkanlah secepat
secepatnya sehingga menjadi norma baru yang dipatuhi. Lewat masyarakat jejaring
yang aktif di media sosial, upaya itu tak mustahil," tutur Firman.
Komentar
Posting Komentar