McKinsey dalam
laporannya menyebutkan sekitar 60 juta pekerja di seluruh Eropa terancam
dipotong gaji hingga terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pandemi virus corona.
McKinsey juga memperkirakan satu dari empat pekerjaan di Uni Eropa dan
Inggris berisiko mengalami pengurangan jam kerja, pemotongan upah, dirumahkan
sementara hingga PHK permanen.
Jenis pekerjaan berisiko tinggi di antaranya adalah profesi yang memerlukan
kontak dengan orang lain seperti kasir, koki, pekerja konstruksi, staf hotel,
hingga aktor. Seperti dilansir dari CNN.com, Senin (20/4), tercatat ada sekitar
55 juta orang menjalani profesi tersebut.
Dari jumlah yang disebut di atas, sejumlah 80 persen pekerjaan berisiko tinggi
dijalani orang-orang yang tidak memiliki gelar sarjana.
Mereka mengatakan virus akan
membuat tingkat pengangguran Uni Eropa melonjak dari sekitar 6 persen menjadi
lebih dari 11 persen. Bahkan, lonjakan lebih tinggi bisa terjadi seandainya
virus tersebut tidak lekas tertangani.
Dengan asumsi Eropa gagal menangani pandemi virus corona dalam masa tiga bulan,
tingkat pengangguran Uni Eropa akan mencapai puncaknya, di kisaran 11,2 persen,
pada tahun 2021.
"Melindungi pekerjaan yang berisiko di perusahaan sehat dan produktif
adalah hal yang sangat penting. Kehilangan pekerjaan tidak hanya akan menjadi
tragedi bagi individu-individu, tetapi juga akan sangat menyakitkan dari perspektif
ekonomi," tulis laporan McKinsey.
Guna mengatasi masalah tenaga
kerja, McKinsey mengatakan pemerintah dan sektor bisnis perlu bergerak cepat.
Perusahaan harus memangkas biaya, memisahkan jam kerja, hingga memperbolehkan
kerja jarak jauh jika memungkinkan.
Selain itu pemerintah juga harus memberikan jaminan pinjaman, keringanan pajak,
dan pembayaran jaminan untuk pekerja. Beberapa hal sudah dilakukan di seluruh
Eropa, seperti langkah pemerintah Inggris menanggung 80 persen gaji pekerja
hingga setidaknya tiga bulan ke depan hingga maksimum 2.500 poundsterling per
bulan.
Uni Eropa juga sudah mempersiapkan paket bantuan virus corona senilai 100
miliar euro atau sekitar Rp1,6 triliun serta ratusan miliar pinjaman untuk
bisnis dan kredit.
Sementara itu pasar tenaga kerja di Amerika Serikat luluh
lantak lantaran pandemi COVID-19. Sekitar 22 juta orang atau sekitar 13,5
persen dari angkatan kerja mengajukan klaim sebagai pengangguran sejak 14
Maret.
Tingkat pengangguran negara tersebut naik menjadi 4,4 persen pada Maret dan
diperkirakan mencapai dua digit pada April. Banyak ekonom memprediksi
pengangguran di AS akan mencapai 15 persen atau lebih.
Berkaca pada krisis keuangan global 2008, AS mampu menurunkan tingkat
pengangguran dibanding Eropa. Hal tersebut kemungkinan karena peraturan pasar
tenaga kerja yang lebih fleksibel.
Komentar
Posting Komentar