Ribut-ribut di perairan dekat Natuna yang sempat
kedatangan 'tamu tak diundang' China belum
usai. Kali ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal membatalkan
kebijakan larangan kapal tangkap
ikan berukuran besar untuk menangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan,
termasuk di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Larangan kapal besar ini awalnya dilakukan era Menteri KKP Susi Pudjiastuti
melalui Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Nomor:
D.1234/DJPT/PI.470. D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal
Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/Surat Izin Penangkapan Ikan
(SIPI)/Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Beleid tersebut dirilis untuk mengendalikan kegiatan perikanan tangkap dan
mencegah aktivitas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan
tidak diatur.
Dalam beleid tersebut, kapal tangkap yang boleh digunakan maksimal berukuran
150 GT dan kapal
angkut 200 GT. Artinya, aturan
kapal tangkap ikan di atas 150 GT tidak bisa memasuki perairan Natuna bagian
Utara.
Juru bicara Menteri KKP Miftah Sabri mengatakan pembatalan
dilakukan karena kebijakan Susi yang melarang kapal besar menangkap ikan di ZEE
tersebut membuat produk perikanan menjadi terbengkalai. Bahkan, kata dia,
pencurian ikan oleh kapal asing semakin marak terjadi di ZEE.
"Kalau tidak ditangkap sama kita, ditangkap sama negara lain. Lari
ikannya, ditangkap sama negara lain," ujarnya.
Sejalan dengan itu, Deputi I Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Purbaya Yudhi
Sadewa menuturkan pembatasan ukuran kapal yang diterbitkan Susi memang perlu
direvisi.
"Natuna bagian Utara itu jauh dari pulau-pulau. Kapal kecil sulit bertahan
untuk menangkap ikan di sana. Jadi perlu kapal yang lebih besar," ungkap
Purbaya
Padahal, Purbaya menyatakan
nelayan tak mungkin bisa menggunakan kapal tangkap berukuran di bawah 150 GT
karena situasi ombak di Laut Natuna bagian Utara yang terbilang kencang. Jika
dipaksakan menggunakan kapal di bawah 150 GT, maka akan membahayakan nelayan
itu sendiri.
"Lalu setelah saya cek tidak ada yang ke perairan Natuna bagian utara.
Saya tanya kenapa, ini karena kapal ukuran di atas 150 GT tidak bisa. Jadi
kosong ini wilayah, karena kosong seperti daerah tidak bertuan," papar
Purbaya.
Menurutnya, kebijakan mengenai batas ukuran kapal ini kemungkinan besar dibuat
demi melindungi nelayan kecil. Hal ini karena sebelumnya sejumlah kapal besar
seringkali masuk, sehingga nelayan kecil tersingkir.
Namun, Susi membantah pernyataan yang menyebut tak ada nelayan yang menggunakan
kapal besar di perairan Natuna. Menurutnya, terdapat nelayan lokal
yang melaut di kawasan tersebut.
"Siapa bilang Natuna kosong dari nelayan. Ini narasi
semua orang itu seolah-olah Natuna kosong," kata Susi, Rabu (15/1)
Menanggapi rencana pembatalan
aturan besaran kapal tangkap tersebut, Direktur Eksekutif Center of Maritime
Studies for Humanity Abdul Halim mengungkap relaksasi perizinan tidak cukup
untuk mengatasi persoalan.
Menurutnya, ada masalah lain yang lebih mendesak yakni pelayanan administrasi
perikanan. Ketidakjelasan waktu perizinan membuat para nelayan tidak bisa
melaut.
"Banyak kapal di bawah 150 GT atau 150 GT yang tidak beroperasi karena
izin habis akhir Desember 2019. Dan tidak ada kejelasan kapan izin yang baru
keluar," paparnya, Rabu (15/1).
Sebagai gambaran, sambungnya,
biaya yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan kapal sebesar Rp80 juta hingga
Rp150 juta. Sementara waktu pengurusan administrasi bisa memakan waktu sampai 3
bulan.
"Kalau izin melaut sudah disetujui dan diterbitkan, masa berlaku sudah
dipotong dengan waktu pengurusan izin. Ini tidak fair. Itu yang lebih mendesak
untuk diperbaiki" ujar Abdul.
Di sisi lain, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengungkap
setuju dengan langkah KKP saat ini. Pasalnya, dia menilai kapal kecil tidak
bisa bertahan di perairan ZEE karena jarak dan gelombang yang besar. Selain
itu, akan kalah besar dengan kapal China yang masuk ke ZEE.
"Kalau kita ganti jadi kapal besar, maka ukuran akan sama besar dengan
kapal China," paparnya.
Terkait nelayan-nelayan kecil, Hikmahanto menyarankan agar
pemerintah dapat memberikan insentif agar para nelayan tersebut bisa berganti
menjadi kapal tangkap besar.
Pengamat maritim dari National Maritime Institute (Namarin) Siswanto
Rusdi menambahkan revisi aturan batas ukuran kapal sebenarnya akan membuat
nelayan menjadi lebih efisien. Namun, pemerintah harus mengatur agar kehadiran
kapal besar tidak menyuburkan praktik pencurian ikan.
"Kegiatan perikanan itu harus diregulasi dan harus
legal supaya dia menghilangkan kecurigaan kita ya legalkan saja. Mau masuk
China kek, mau masuk Vietnam kek. Legalkan. Sejauh mereka mengatur dan
melaporkan kita enggak perlu curiga," tuturnya.
Hingga saat ini, rencana perubahan aturan ukuran kapal tangkap belum ketuk
palu. Rencananya KKP akan mengganti aturan tersebut dalam kurun waktu satu
bulan ke depan.
Komentar
Posting Komentar