Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky
Budiman menyarankan agar pemerintah daerah dapat ketat dalam mengawasi proses
kegiatan jual-beli sehingga tidak membuat keramaian yang akan terjadi di pusat
perbelanjaan atau mal saat
dibuka kembali pada Senin (15/6).
Menurut dia, hal itu penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi lonjakan
kasus ataupun klaster-klaster baru virus corona Covid-19
yang merupakan efek domino dari kebijakan tersebut. Meskipun, kata dia, jarang
terbentuk sebuah klaster penularan di pusat perbelanjaan yang menerapkan
protokol kesehatan ketat.
"Ini kan yang harus dihindari prinsipnya adalah menghindari
keramaian," kata Dicky saat dihubungi
Sabtu (13/6).
Oleh sebab itu, pengelola pusat perbelanjaan atau mal harus dapat memastikan
agar tidak membuat suatu penumpukan masyarakat di satu waktu bersamaan.
Misalnya saja, kata dia, saat akan memasuki mal, parkiran kendaraan, tempat
tunggu kendaraan umum, kemudian juga di dalam mall itu sendiri.
Dia menyarankan agar pengelola memperhatikan jumlah pengunjung yang dibatasi
dengan memperhitungkan luas keseluruhan mal tersebut. Idealnya, kata dia,
setiap satu orang mengambil tempat 4 meter persegi. Pembatasan pun termasuk
pada jumlah pengunjung yang ada di dalam gerai mall tersebut.
"Sederhananya, kalau luas
bangunan mal itu katakanlah 100 meter, berarti isinya kan 20
(pengunjung)," tambah dia.
Untuk menghindari kepadatan itu
pun, Dicky meminta agar Pemerintah gencar mensosialisasikan agar masyarakat
pergi ke mal atau pusat perbelanjaan hanya pada saat membeli keperluan yang
sifatnya genting dan esensial. Sehingga, masyarakat tidak beramai-ramai datang
ke mall ketika dibuka pertama kali sejak tiga bulan lalu.
"Memastikan masyarakat tahu bahwa ke mal itu bukan buat shopping atau
jalan-jalan dalam situasi pandemi ini. Harus dibedakan, ke mall itu hanya untuk
membeli kebutuhan yang urgent, mendasar," lanjut dia.
Oleh sebab itu pun, kata dia, pemerintah tidak boleh gegabah dalam membuka mal
secara keseluruhan. Menurut dia, pembukaan mall harus dilakukan secara bertahap
berdasarkan jenis kebutuhannya.
Pertama yang paling penting adalah dengan membuka gerai-gerai esensial, seperti
tempat makan, supermarket, toko baju, dan lainnya. Setelah dievaluasi dalam
rentan waktu tertentu, baru bertahap mal dapat membuka bisnis-bisnis lain
seperti salon, bioskop, dan lainnya.
Selain akan mengurangi jumlah pengunjung, metode itu pun
nantinya akan sangat berguna saat pemerintah akan melakukan tracing atau
pelacakan apabila ditemukan korban terinfeksi Covid-19 yang sempat mengunjungi
mal itu.
"Karena cenderungnya yang non esensial nih sering terjadi klaster itu.
Kayak misalnya bioskop, salon, atau restoran makanan yang di dalam (dine
in)," jelas Epidemiolog ini.
Dalam melakukan tracing pun, Dicky mengatakan penting untuk memiliki data para
pengunjung yang sudah terdaftar secara online dalam sistem para pengelola.
Artinya, kata dia, setiap pengunjung dari gerai-gerai non esensial itu harus
mendaftar terlebih dahulu sebelum dapat menggunakan layanan yang tersedia.
Sehingga, pengelola dapat mengetahui waktu para pengunjung tersebut datang dan
mengetahui batasan jumlah pengunjung yang dapat dilayani.
"Misalnya di salon yang ada di mal, daripada orang datang ke situ, nunggu
dan lainnya. Ini sudah bisa diatur sejak awal (jumlah pengunjung) melalui
mekanisme registrasi online," katanya.
Manfaat lainnya si pengelola
punya data dari customer itu, sehingga bisa di tracing. Tanpa itu sulit,"
pungkas dia.
Sebagai informasi, Pusat perbelanjaan atau mal di DKI Jakarta diizinkan dibuka
mulai 15 Juni 2020. Izin beroperasi diberikan pada mal dan pasar nonpangan
lainnya seiring dengan perpanjangan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
masa transisi di ibu kota.
baru pusat pertokoan pasar-pasar mulai berkegiatan,"
kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota, Kamis (4/6).
Anies menegaskan pembukaan tempat usaha ini akan diiringi dengan protokol
kesehatan yang ketat. Misalnya dengan membatasi daya tampung hanya 50 persen.
Komentar
Posting Komentar