Gempa bumi bermagnitudo 7,4 mengguncang pantai
selatan
Meksiko pada Selasa (23/6) sekitar pukul 10.29
pagi waktu setempat. Gelombang
tsunami setinggi 0,68
meter juga terjadi di Acapulco dan 0,71 meter di Salina Cru sesaat setelah gempa.
Sedikitnya lima orang tewas dalam bencana tersebut.
Menurut analisa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) gempa
disebabkan oleh deformasi batuan tepat di zona megathrust Oaxaca.
Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan
Lempeng Cocos yang mendasari Samudra Pasifik dekat Meksiko secara perlahan
mendorong Pantai Oaxaca ke arah timur laut dengan kecepatan 50 hingga 70
milimeter per tahun.
"Pergerakan ini menjadi terkunci ketika benturan Lempeng Amerika Utara
yang terjadi di landasan daratan Oaxaca sehingga terjadilah akumulasi medan
tegangan batuan tepat pada bidang kontak antar Lempeng Cocos dan Lempeng
Amerika Utara," kata Daryono lewat keterangan resmi yang diterima
Rabu (24/6).
"Tadi malam, tekanan kulit Bumi di zona megathrust itu tampaknya sudah
melampaui batas elastisitasnya hingga batuan tidak mampu lentur lagi sehingga
patah dengan tiba-tiba selanjutnya memancarkan energi gelombang seismik,"
sambungnya.
Lebih lanjut kata Daryono, sebagian tepi batas Lempeng Amerika utara
tersentak secara tiba-tiba dalam arah yang berlawanan dengan arah penunjaman
lempeng. Gempa ini juga mengirim sentakan guncangan ke wilayah lain yang
menyebabkan bangunan sejauh ratusan kilometer dari pusat gempa.
Meksiko menurut BMKG memang merupakan wilayah rawan gempa sebab banyak
peristiwa gempa kuat yang tercatat pernah melanda salah satu negara di
Amerika Latin ini.
BMKG pun menilai gempa bumi yang melanda Meksiko dapat diambil sebagai
evaluasi atau pelajaran bahwa gempa besar akan mengalami perulangan atau
periode ulang sehingga daerah yang pernah mengalami gempa besar di masa lalu
dapat kembali dilanda gempa kuat di masa yang akan datang.
"Sehingga wilayah Indonesia yang memiliki catatan sejarah gempa kuat
pada masa lalu maka wajib hukumnya membangun bangunan tahan gempa serta
mengedukasi warganya bagaimana cara selamat saat terjadi gempa. Ini penting
sebagai upaya kesiapsiagaan dalam menghadapi kejadian gempa berikutnya,"
jelas Daryono.
Pelajaran kedua ialah gempa kuat sangat berpotensi terjadi di kawasan
seismic gap. Zona seismic gap adalah zona sumber gempa aktif akan tetapi sudah
lama tidak terjadi gempa dahsyat.
Seismic gap kata Daryono ibarat bom waktu. Artinya gempa yang suatu waktu
akan meledak dengan melepas energi gempa yang sangat besar.
"Jika kita mencermati ukuran sejarah gempa besar di Meksiko yang
terjadi di sepanjang Subduksi Cocos, tampak bahwa gempa Oaxaca terjadi di
kawasan yang selama ini 'kosong' dari gempa besar," tuturnya.
"Untuk itu kita perlu mengidentifikasi zona megathrust dan sesar aktif
di Indonesia yang selama ini segmennya belum mengalami gempa kuat untuk
diwaspadai," sambung Daryono.
Terakhir, berdasarkan analisa BMKG dari tayangan video dan foto akibat
guncangan gempa, tak sedikit gedung bertingkat yang mengalami guncangan cukup
besar tetapi tidak mengalami kerusakan parah atau roboh.
Menurut Daryono, Meksiko telah lama menyiapkan struktur bangunan tahan gempa
tidak seperti saat gempa di Yogyakarta tahun 2006.
"Di Yogyakarta saat itu masih banyak bangunan yang di bawah standar
aman gempa. Pelajaran terpenting yang dapat kita ambil sebagai pelajaran bahwa
bangunan tahan gempa adalah kunci keselamatan yang paling utama dalam
menghadapi gempa sehingga cepat atau lambat harus kita merealisasikannya,"
pungkas Daryono.
Komentar
Posting Komentar