Penguatan harga minyak dunia tertahan
pekan lalu. Faktor penahan harga salah satunya berasal dari sikap Presiden
Amerika Serikat (AS) Donald
Trump yang kembali menekan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk mengerek produksi
minyak mentah demi menurunkan harga bensin.
Dilansir dari Reuters, Senin (29/4), harga minyak mentah berjangka Brent pada
pekan lalu tak bergerak jika dibandingkan minggu sebelumnya. Pada perdagangan
Jumat (26/4) lalu, harga Brent kembali ditutup di level US$72,15 per barel.
Padahal sebelumnya, harga Brent menguat empat pekan berturut-turut.
Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI)
melemah 1,2 persen secara mingguan menjadi US$63,3 per barel.
Pelemahan ini merupakan yang pertama selama tujuh pekan terakhir. Secara
harian, penurunan harga terbesar terjadi pada perdagangan Jumat (26/4) lalu di
mana harga Brent dan WTI masing-masing merosot sebesar 3 persen dan 2,9 persen.
Pada Jumat (26/4) lalu, Trump
mengatakan kepada awak media bahwa ia telah menghubungi OPEC dan meminta kartel
minyak itu untuk menekan harga minyak. Namun, Trump tak merinci kepada siapa ia
berbicara atau apakah ia membicarakan pembahasan yang telah dilakukan
sebelumnya dengan perwakilan OPEC.
Menurut sejumlah trader, meski tidak spesifik,
komentar Trump cukup untuk memicu investor melakukan aksi ambil untung setelah
menikmati kenaikan harga yang cukup panjang ke level tertinggi dalam enam
bulan.
Sejak menempati Gedung Putih, Trump memang telah menekan OPEC untuk menurunkan
harga dalam beberapa kesempatan melalui cuitan di akun Twitter resminya
@realdonaldtrump. Komentarnya cenderung memberikan dampak sementara ke pasar.
Kendati demikian, komentarnya pekan lalu cukup menjatuhkan pasar setelah minyak
mengalami reli beberapa minggu.
"Tak lama setelah komentar (Trump) keluar, itu cukup
menjadi amunisi bagi pelaku pasar untuk meninggalkan posisi beli," ujar
ahli strategi komoditas RJO Futures Josh Graves di Chicago.
Pelaku pasar juga menilai aksi jual yang terjadi Jumat (26/4) lalu sebagian
disebabkan oleh rumor terkait AS kemungkinan akan memberikan pengecualian
pemberlakuan sanksi Iran kepada China. Artinya, China masih bisa mengimpor
minyak dari Iran tanpa harus terancam dikenakan sanksi oleh AS.
Padahal, AS berencana memperketat pemberlakuan sanksi terhadap
Iran. Pengetatan rencananya akan mereka lakukan dengan menghilangkan
pemberian pengecualian bagi sejumlah negara untuk tetap dapat mengimpor minyak
dari Iran.
Dua pejabat Trump telah membantah rumor tersebut. Menurut keduanya, pemerintah
AS tidak sedang mempertimbangkan untuk memberikan pengecualian jangka pendek
pemberlakuan sanksi Iran kepada China.
Namun demikian, saat ini, AS dan China masih melanjutkan negosiasi perdagangan
demi mengakhiri perang dagang yang telah terjadi selama beberapa bulan.
Sejak awal tahun, harga minyak mentah dunia telah menguat lebih dari 30 persen
setelah OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, memangkas produksinya sebesar 1,2
juta barel per hari (bph). Selain itu, penguatan juga terjadi akibat pengenaan
sanksi AS terhadap Venezuela dan Iran untuk mengurangi pasokannya ke pasar.
Pada Kamis (25/4) lalu, harga Brent sempat terdongkrak ke level di atas US$75
per barel untuk pertama kalinya tahun ini. Penguatan itu terjadi setelah
Jerman, Polandia, dan Slovakia menghentikan sementara impor minyak dari Rusia
yang melalui jaringan pipa utama akibat terjadinya kontaminasi.
Pemerintah Rusia berencana memulihkan pasokan minyak ke Eropa yang melalui pipa
Druzhba tersebut dalam 2 minggu. Selain itu, pelemahan harga lebih dalam
juga tertahan oleh pemangkasan jumlah rig pengeboran minyak di AS pekan
lalu.
Pemangkasan itu sejalan dengan rencana produsen minyak independen AS yang
ingin mengurangi belanja pada pengeboran baru dan penyelesaian proyek.
Tercatat, perusahaan AS memangkas jumlah rig pengeboran minyak sebanyak 20 rig
menjadi 805 rig. Pengurangan tersebut merupakan yang terbesar selama tiga bulan
terakhir.
Komentar
Posting Komentar