Greenpeace mengatakan belajar
dan kerja dari rumah (work from home/WFH) yang sudah
berjalan sepekan pasca merebaknya virus corona
(SARS-CoV-2) tidak mengurangi polusi udara.
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan
berdasarkan data AirVisual dan AirNow pada hari ini Selasa (24/3) menunjukkan
Air Quality Index (AQI) dengan polutan PM 2,5 tingkat kosentrasi mikrometer/m³
menyentuh angka 156. Angka AQI ini tertinggi selama satu bulan terakhir.
Dengan angka ini, udara sangat tidak sehat bagi orang sensitif dengan gangguan
pernapasan atau asma.
Bondan menyangka Jakarta memiliki sumber pencemar udara di
luar transportasi. Asumsinya, seharusnya sumber pencemar udara transportasi
berkurang ketika pemerintah memberlakukan pembatasan aktivitas di luar rumah.
"Hari ini Jakarta bergerak ke peringkat ke 10 [kota dengan AQI terburuk],
banyak yang bekerja dari rumah tapi datanya justru terjadi peningkatan PM 2.5
artinya bisa jadi ada sumber lain tidak bergerak yang masih berkontribusi pada
pencemaran udara," ujar Bondan.
Berdasarkan AirVisual, kualitas
udara Jakarta pasca WFH sempat membaik menjelang akhir pekan, yakni pada Jumat
(20/3) hingga Minggu (22/3) dengan angka AQI masing masing 88, 67, dan 72.
Pada hari diberlakukan WFH pada Senin (16/3), kualitas udara
Jakarta membaik dengan angka AQI 88. Pada Selasa (17/3) kualitas udara Jakarta
masih dalam kisaran baik dengan angka AQI yang naik sedikit ke 94.
Penurunan kualitas udara di Jakarta terjadi pada Rabu (18/3) dengan angka 131.
Angka kualitas pada Rabu merupakan berada pada peringkat ketiga terparah selama
sebulan terakhir.
Penyebab Kualitas Memburuk Meski WFH
Bondan menduga ada sumber pencemar lain selain transportasi. Dugaan berkaca
pada masih buruknya kualitas udara di Jakarta meski pembakaran kendaraan
bermotor berkurang signifikan dengan penerapan WFH maupun pembatasan aktivitas
di luar rumah.
Oleh karena itu, Bondan mengatakan perbaikan kualitas udara harus didasari oleh
riset inventarisasi emisi untuk mengidentifikasi sumber pencemar. Sehingga
upaya pengendalian sumber pencemaran udara bisa berdasarkan hasil inventarisasi
emisi.
"Soal keterbukaan data sumber pencemar udara menjadi penting Sehingga kita
tidak berdebat soal sumbernya dari mana," ujar Bondan.
Bondan mengatakan pemerintah tak akan bisa mengidentifikasi sumber pencemar
selama tidak melakukan inventarisasi emisi. Sumber pencemar lain selain
transportasi adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, aktivitas
industri hingga pembakaran sampah.
"Selama tidak ada data sumber pencemar yang dipublikasi pemerintah, kita
tidak akan tahu sumber pencemar udara yang kita hirup dari mana," ujar
Bondan.
Komentar
Posting Komentar