Sejumlah peserta BPJS Kesehatan mengaku
senang dengan keputusan Mahkamah Agung
(MA) membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan
sebesar 100 persen. Kegembiraan mereka ungkapkan karena kenaikan iuran sekitar
dua kali lipat yang berlaku sejak 1 Januari lalu terasa sangat memberatkan.
Ginanjar Kusumo (40), staf sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat mengaku lega
mendengar putusan MA. Pasalnya, dengan keputusan tersebut iuran kepesertaan
yang dibayarkannya, termasuk untuk anak, istri, beserta kedua orang tuanya akan
berkurang.
"Saya bayar untuk lima orang sekaligus, jadi saat kemarin naik, itu terasa
sekali. Ya walaupun saya pun hanya kelas Mandiri III, tapi tetap saja jadi
tambah Rp75 ribu per bulan untuk semua anggota keluarga," ujar Ginanjar
Kendati lega, namun Ginanjar
turut mempertanyakan, apakah keputusan MA akan berlaku untuk pembayaran iuran
bulan-bulan ke depan atau turut berlaku surut. Sebab, ia sudah terlanjur
membayar iuran sesuai kenaikan terhitung mulai Januari sampai Maret 2020.
"Nanti kira-kira, kalau memang batal dari awal tahun,
itu uang iurannya bagaimana? Apa dikembalikan ke peserta atau langsung ditarik
untuk bulan berikutnya ya? Saya masih tidak mengerti," katanya.
Ginanjar mengatakan bila memang dibatalkan sejak awal tahun, sebaiknya
uang iuran lebih yang telah dibayarkan untuk tiga bulan kemarin langsung
dimasukkan ke pembayaran peserta untuk bulan April dan seterusnya. Dengan
begitu, sambungnya, peserta tidak susah payah mengurus administrasi.
Pasalnya, ia cukup kapok mengurus administrasi di BPJS Kesehatan.
Menurutnya, antrian pengurusan administrasi di BPJS Kesehatan lama.
Kondisi tersebut membuat peserta dari golongan pekerja sepertinya kesulitan
dalam mengatur waktu.
"Atau kalau tidak ya langsung dikembalikan ke rekening, daripada
bolak-balik ke kantor BPJS lagi, susah waktunya," imbuhnya.
Selain Ginanjar, kebahagiaan juga dirasakan oleh Nadira (29), seorang
pegawai sebuah restoran. Hanya saja, ia mengaku tidak ingin buru-buru terlena.
Sebab, pembatalan aturan itu baru diputuskan oleh MA. Pemerintah sampai dengan
saat ini belum merespons pembatalan tersebut.
"Kalau benar batal, jelas melegakan. Tapi ini baru MA yang bilang batal,
belum Pak Jokowi ya, takut tiba-tiba tidak jadi lagi, sama saja kami yang
tanggung biaya hanya ditarik ulur," ungkapnya.
Kendati begitu, Nadira sebenarnya juga bingung dengan keputusan ini.
"Kenapa tiba-tiba MA bisa batalkan? Ini kebijakan pemerintah sebenarnya
sudah dipikirkan belum sih, jadi bingung," ucapnya.
Sementara Andi Gunawan (35)
mengaku menyesal sudah terlanjur mengurus penurunan kelas kepesertaan BPJS
Kesehatan. Semula, katanya, ia dan keluarganya menjadi peserta kelas Mandiri I.
Namun, setelah pemerintah menaikkan iuran sebesar 100 persen, ia memutuskan
untuk turun kepesertaan ke kelas Mandiri II.
"Sudah terlanjur turun kelas, nanti urus lagi, susah lagi. Soalnya kemarin
lumayan kan dari Rp80 ribu jadi Rp160 ribu, mending saya turun kelas, naiknya
dikit jadi Rp110 ribu kalau kelas II kan," katanya.
Ia pun meminta agar BPJS Kesehatan bisa mempermudah proses kenaikan kelas bila
pembatalan sudah diresmikan pula oleh pemerintah. Di sisi lain, ia menitip
pesan kepada pemerintah agar jangan sampai pelayanan justru menurun bila memang
kenaikan iuran batal diberlakukan.
"Takutnya nanti tidak jadi naik, masih defisit, lalu
pelayanan jadi dikurang-kurangin. Nanti tidak bisa untuk penyakit ini lah,
penyakit itu lah," ungkapnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kenaikan iuran
kepesertaan BPJS Kesehatan sebesar dua kali lipat sejak awal tahun. Keputusan
ini dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang
Jaminan Kesehatan yang diteken pada 24 Oktober 2019.
Namun keputusan tersebut digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) ke
MA. Gugatan diajukan karena kenaikan iuran tersebut berpotensi memberatkan
hidup mereka.
Gugatan akhirnya dikabulkan MA dengan menyatakan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur soal
kenaikan iuran tersebut tak memiliki kekuatan hukum. Dalam pertimbangan
putusannya, MA juga menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan
Pasal 23A, Pasal 28 H jo Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, MA juga menyatakan aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 2,
Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kemudian juga bertentangan dengan
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta Pasal 4 jo Pasal 5 ayat
(2) jo Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Komentar
Posting Komentar