Nilai rupiah terus anjlok sejak awal tahun.
Pada Januari lalu, nilai tukar rupiah masih di Rp13,888 per dolar AS. Tapi posisi tersebut turun ke
level Rp14.956 pada penutupan pasar, Senin (16/3).
Pelemahan tajam rupiah belakangan ini tak terlepas dari 'infeksi' virus corona
(covid-19) yang mulai masuk ke dalam negeri. Virus telah memicu kekhawatiran
pasar.
Pasar tidak bisa memproyeksikan kapan teror virus terhadap perekonomian akan
berlangsung, hingga membuat mereka mengalihkan aset mereka dari rupiah ke yang
lebih aman. Sebenarnya, tak hanya rupiah saja yang melemah.
Mata uang negara lain juga ikut tertekan oleh penyebaran wabah virus corona.
Namun, bila dibandingkan dengan mereka, pelemahan rupiah lebih tinggi.
Berdasarkan perhitungan
, rata-rata pelemahan rupiah dari 1 Januari hingga 16 Maret
2020 mencapai 7,69 persen.
Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan dolar Singapura yang
memiliki rata-rata pelemahan 5,47 persen, ringgit Malaysia sebesar 5,24 persen,
hingga baht Thailand yang masih menang tipis dengan pelemahan rata-rata 7,37
persen pada cakupan periode yang sama.
Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal
Damuri menilai pelemahan rupiah ini dapat berdampak pada dua sisi
perekonomian dalam negeri. Sisi pertama, kenaikan
beban utang korporat dan pemerintah di Indonesia.
Ia khawatir, utang yang berbentuk dolar AS akan semakin bertambah seiring tren
pelemahan rupiah belakangan ini. "Dampak negatifnya dari beban utang.
Utang korporat, terutama yang berbentuk dolar (AS), begitu juga utang
pemerintah yang tentunya akan mengalami permasalahan juga kalau ini terus
terjadi (rupiah melemah)," katanya saat dihubungi
Tak hanya soal utang, Yose juga
menilai terdapat tekanan dua arah terhadap korporat dari sisi permintaan dan
lesunya tingkat produksi barang akibat corona. Diketahui, dampak covid-19 telah
membuat pabrik-pabrik China terpaksa ditutup.
Kondisi tersebut menurunkan impor barang dari China kepada Indonesia, terutama
yang berbentuk bahan baku non migas, seperti plastik ke Indonesia. BPS
mencatat terdapat penurunan impor plastik dan barang dari plastik dari China
mencapai 65,16 persen pada Februari 2020.
Tak hanya plastik, impor mesin dan perlengkapan elektrik juga turut menurun
sebanyak 45,17 persen diikuti oleh mesin dan peralatan mekanik sebesar 34,33
persen. Secara total, BPS mencatat realisasi impor nonmigas dari China ke
Indonesia hanya mencapai US$1,98 miliar pada Februari 2020. Realisasi itu
anjlok 49,63 persen dari bulan sebelumnya dan 35,27 persen secara tahunan.
Akibat penurunan ini, Indonesia memang berhasil memperkecil defisit neraca
dagang dari China. Tercatat, defisit dagang Indonesia-China hanya sebesar
US$1,94 miliar pada Januari-Februari 2020.
Walau defisit neraca dagang non
migas dari China telah menurun, Yose merasa hal tersebut tidak berpengaruh
signifikan terhadap pergerakan rupiah. Yose menyebut penyebab utama pelemahan
rupiah kali ini diakibatkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan dari masyarakat
kepada segala sisi aspek perekonomian, termasuk pemerintah Indonesia.
"Pelemahan rupiah kali ini sebenarnya bukan cerminan dari current account, ataupun bukan
cerminan dari trade balance. Yang lebih menjadi penyebab menurunnya rupiah ini
karena tingkat kepercayaan masyarakat dan pelaku pasar yang turun, tidak hanya
kepada pemerintah Indonesia tapi juga perekonomian Indonesia," tegasnya
Untuk dapat menstabilkan nilai rupiah kembali, Yose merasa pemerintah perlu
menegosiasikan utang-utang negara, terutama yang berbentuk dolar dan yang
berpotensi besar akan jatuh tempo. Pasalnya, apabila pemerintah tidak
menegosiasikan sedini mungkin, kemungkinan beban utang yang semakin bertambah
dan bakal merugikan negara.
"Selain itu, pemerintah juga harus membuktikan kebijakan yang mendorong
kepercayaan dari pelaku usaha. Jangan sampai mereka melihat langkah-langkah
yang diambil oleh pemerintah ini misalnya dianggap tidak optimal atau
penanganan virus tidak optimal," tuturnya.
Segendang sepenarian, ekonom
Universitas Indonesia Fithra Faisal menilai penurunan rupiah bakal meningkatkan
utang dari negara dan perusahaan-perusahaan dalam negeri. Ia melihat, tren
pelemahan diakibatkan oleh kurangnya optimalisasi penanganan corona dalam
negeri.
"Jadi saya melihat ada faktor kekhawatiran oleh pelaku pasar, mereka
melihat juga kasus-kasus di Indonesia sepertinya belum ditangani baik sehingga market agak ragu," ujarnya.
Fithra juga merasa nilai rupiah yang kini terancam naik perlu diperhatikan
pemerintah secepatnya. Apabila dibiarkan, Fithra khawatir rupiah dapat memasuki
level Rp17 ribu. Bila itu terjadi, ekonomi dalam negeri bisa terancam.
"Level Rp15 ribu ini sudah masuk dampak psikologis, sedikit berbahaya.
Selain itu, kalau dilihat dari tes-tes yang dilakukan oleh OJK, bahwa rupiah
punya batas stress-nya itu sampai Rp17 ribu. Ini kan ada windows yang cukup
sempit, antara Rp15 sampai Rp17 rb tika terlalu jauh, sementara kalau sudah
Rp17 ribu ini kan relatif lebih berisiko untuk perekonomian," katanya.
Fithra melihat masih ada kesempatan bagi rupiah kembali
menguat dalam jangka menengah panjang. Fithra menyebut pemerintah perlu segera
mencari cara untuk memperbaiki kelemahan fundamental dari sisi impor dan ekspor
lantaran penurunan impor dari China mayoritas masih merupakan bahan baku untuk
produksi.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan rencana pemberian insentif fiskal
dan non fiskal dapat berjalan dengan baik sehingga kepercayaan pelaku usaha
dapat meningkat. "Tapi saya rasa secara fundamental Indonesia masih punya
peluang untuk rebound ke level Rp14 ribu. Masyarakat juga belum melihat ada
dampak dari paket kebijakan pemerintah, karena ini kan baru saja diumumkan
terkait relaksasi kebijakan impor, dan juga kemudian pengurangan PPh, dan
seterusnya.Ini yang perlu diawasi dengan baik," pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar