Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut
perekonomian Indonesia memiliki "tungkai lemah" (achilles heels) berupa defisit transaksi berjalan
(CAD/Current Account Deficit). Kelemahan
itu menjadi penyebab Indonesia kesulitan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih besar
dari tahun ke tahun walaupun sudah masuk kelompok negara G20.
"Indonesia masuk G20, size (ukuran)
ekonomi termasuk besar, pertumbuhan relatif tinggi. Namun, Indonesia setiap
kali mau lari lebih kencang, selalu ada yang mengerem. Kalau bahasa inggrisnya achilles heels, kira-kira
tungkainya itu lemah jadi (kalau) lari kencang tungkainya lemas," katanya
di Hotel Borobudur, Kamis (5/3).
Sri Mulyani mengungkapkan setiap kali pemerintah berencana untuk menggenjot
perekonomian, nilai ekspor kerap kewalahan mengimbangi nilai impor.
Ujung-ujungnya defisit negara perdagangan, yang merupakan kontributor transaksi
berjalan, kian melebar.
"Kalau CAD makin lebar dan Indonesia enggak mampu menarik capital (modal), maka nilai tukar
mata uang tertekan, itulah kenapa terjadi achilles heels.
(Kalau) lari cepat, langsung ada indikator yang kepanasan sehingga (pertumbuhan
ekonomi) enggak bisa sustain
(bertahan)," jelasnya.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu kemudian
mengingatkan soal nilai ekspor Indonesia yang memiliki pertumbuhan negatif
dalam empat kuartal berturut-turut pada 2019. Kala itu, impor juga
terkontraksi tinggi, terutama bahan baku. Artinya, perusahaan berhati-hati
dalam melakukan ekspansi produksi di tanah air.
Secara nilai, defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar US$30,4 miliar tahun
lalu tak beda jauh dengan angka defisit transaksi berjalan pada 2018, US$30,6
miliar.
Namun, Sri Mulyani mengingatkan secara kualitas komponen, ekspor dan impor pada
2019 memiliki nilai lebih rendah dari 2018.
Tahun lalu, nilai ekspor tercatat US$168,5 miliar atau turun 6,7 persen
dibandingkan 2018, US$180,7 miliar. Sementara, impor jatuh lebih dari US$181
miliar pada 2018 menjadi US$164,9 miliar pada 2019.
"Sehingga dihitung GDP (Pendapatan Domestik Bruto), ekspor minus impor
(memang) kelihatan positif. Kalau dari growth
(pertumbuhan) bagus, tapi komponen enggak bagus," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia optimistis perekonomian Indonesia berpotensi dapat tumbuh 6
hingga 7 persen apabila dapat memperbaiki masalah ekspor dan impor tersebut.
"Indonesia sebagai negara besar, harusnya Indonesia bisa tumbuh 6-7
persen. Namun, bisa tumbuh 6-7 persen kalau bisa perbaiki masalah fundamental
ini," pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar