Kemenhub akan Uji Coba O-Bahn di Tiga Kota Besar Tahun Depan
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ingin melakukan uji
coba implementasi sistem transportasi bus massal berjalur, O-Bahn, di tiga kota besar di
Indonesia pada 2020. Saat ini, kementerian masih menjalankan kajian awal.
Dalam kajian saat ini, kementerian memperkirakan bisa mengimplementasikan bus O-Bahn di tiga kota di Indonesia tahun depan dengan estimasi anggaran sebesar Rp200 miliar.
O-Bahn adalah transportasi massal yang menggabungkan konsep Bus Rapid Transit (BRT) dan Light Rapid Transit (LRT). O-Bahn yang berbentuk bus akan beroperasi seperti bus pada umumnya, tetapi pada beberapa rute terdapat jalur khusus.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menjelaskan kajian wacana bus O-Bahn sejatinya masih dilakukan oleh pihak internal kementerian. Setelah itu baru diajukan ke Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, hingga akhirnya ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kajian saat ini, kementerian memperkirakan bisa mengimplementasikan bus O-Bahn di tiga kota di Indonesia tahun depan dengan estimasi anggaran sebesar Rp200 miliar.
O-Bahn adalah transportasi massal yang menggabungkan konsep Bus Rapid Transit (BRT) dan Light Rapid Transit (LRT). O-Bahn yang berbentuk bus akan beroperasi seperti bus pada umumnya, tetapi pada beberapa rute terdapat jalur khusus.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menjelaskan kajian wacana bus O-Bahn sejatinya masih dilakukan oleh pihak internal kementerian. Setelah itu baru diajukan ke Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, hingga akhirnya ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rencananya, pembangunan dan
implementasi akan dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kemenhub. Setelah
itu, bisa dikelola oleh pemerintah daerah (pemda) dengan skema membeli
penyediaan jasa tersebut (buy the service).
"Kami belum tahu kurang lebihnya bagaimana, tapi kalau semua kota mau buy the service, misalnya tiga kota Rp200 miliar dianggarkan, itu cukup tidaknya nanti kami lihat. Tapi semakin banyak kota, semakin bisa terpakai sistem ini," jelas Budi di kantornya, Jakarta, Selasa (25/6).
Kendati begitu, Budi mengatakan kementeriannya belum mengantongi nama tiga kota yang bisa dijadikan titik implementasi bus 0-Bahn ke depan.
"Kami belum bicara di kota mana cocoknya, berapa anggarannya pastinya, belum ke sana," terangnya.
"Kami belum tahu kurang lebihnya bagaimana, tapi kalau semua kota mau buy the service, misalnya tiga kota Rp200 miliar dianggarkan, itu cukup tidaknya nanti kami lihat. Tapi semakin banyak kota, semakin bisa terpakai sistem ini," jelas Budi di kantornya, Jakarta, Selasa (25/6).
Kendati begitu, Budi mengatakan kementeriannya belum mengantongi nama tiga kota yang bisa dijadikan titik implementasi bus 0-Bahn ke depan.
"Kami belum bicara di kota mana cocoknya, berapa anggarannya pastinya, belum ke sana," terangnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan
kajian pembangunan dan implementasi sistem O-Bahn sengaja dimunculkan karena
kementerian melihat pengelolaan sistem bus terpadu yang dikelola daerah masih
belum optimal. Hal ini, katanya, tak lepas dari perbedaan komitmen dari
masing-masing kepala daerah.
"Ada yang dijalankan perusahaan daerah berjalan bagus, seperti Riau, Batam, Semarang, tapi Bogor tidak begitu bagus. Jadi artinya entitas daerah yang dikasih bus kurang bagus, maka kami coba buy the service," katanya.
Si sisi lain, kata Budi, skema buy the service memungkinkan daerah akan sangat bergantung dengan pemerintah pusat. Padahal, menurutnya, pembangunan sistem transportasi di daerah seharusnya tidak hanya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi juga APBD.
Di sisi lain, ia kembali menekankan soal efektivitas bus O-Bahn dibandingkan sistem bus terpadu biasa, misalnya yang sudah dimiliki DKI Jakarta, yaitu Transjakarta. Meski, harga pembangunannya lebih tinggi dari Transjakarta.
"Ada yang dijalankan perusahaan daerah berjalan bagus, seperti Riau, Batam, Semarang, tapi Bogor tidak begitu bagus. Jadi artinya entitas daerah yang dikasih bus kurang bagus, maka kami coba buy the service," katanya.
Si sisi lain, kata Budi, skema buy the service memungkinkan daerah akan sangat bergantung dengan pemerintah pusat. Padahal, menurutnya, pembangunan sistem transportasi di daerah seharusnya tidak hanya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi juga APBD.
Di sisi lain, ia kembali menekankan soal efektivitas bus O-Bahn dibandingkan sistem bus terpadu biasa, misalnya yang sudah dimiliki DKI Jakarta, yaitu Transjakarta. Meski, harga pembangunannya lebih tinggi dari Transjakarta.
Untuk itu, kajian akan terus dimatangkan dengan turut melihat hasil implementasi dari sejumlah negara yang sudah lebih dulu menggunakan O-Bahn. Misalnya, Australia, China, hingga Jerman.
"Kapasitasnya lebih besar dari BRT cuma lebih rendah dari LRT. Makanya kami masih akan melakukan kajian terlebih dahulu," tuturnya.
Komentar
Posting Komentar