Pelaku ritel konvensional (offline)
menyatakan tantangan industri saat ini cukup berat. Salah satunya dikarenakan
perkembangan bisnis ritel online (e-commerce).
Chief Executive Officer (CEO) PT Lotte Mart Indonesia Joseph Buntaran
mengatakan e-commerce memiliki karakter berbeda dengan ritel konvensional, di
mana karakteristik itu mendorong e-commerce lebih cepat dalam mengembangkan
bisnisnya dibandingkan ritel konvensional.
"Yang pasti kondisi saat ini sangat destruktif dan kami harus berpikir
lebih ke depannya agar kami bisa survive (bertahan)," ujarnya, Senin
(29/7).
Dari sisi kinerja keuangan, meski merugi, e-commerce masih tetap bisa
mengembangkan bisnis. Bahkan, mendapatkan suntikan modal. Ini berbeda dengan
ritel konvensional yang dituntut menjaga kinerja keuangan.
"Pemain offline bikin
laporan tiap bulan turun saja, bisa dipanggil ke kantor pusat, turun kenapa?
Lalu, membuat penjelasan," imbuh Joseph.
Selain itu, e-commerce bisa memberikan diskon besar-besaran lantaran tidak
terkait perjanjian dengan pihak pemasok. Sementara, ritel konvensional harus
memiliki hitung-hitungan cermat dalam memberikan diskon.
Masalah pasokan ini juga menimbulkan permasalahan tersendiri bagi ritel
konvensional. Ketika pasokan belum habis, mereka harus menambah suplainya
lantaran belum bisa melunasi pembayaran sebelumnya. Akibatnya, pasokan
menumpuk.
"Jadi, untuk menutupi utang itu kami order (pesan) lagi, order lagi tapi
untuk menjual itu kami tidak tahu kapan," jelasnya.
Di sisi lain, ritel konvensional menghadapi tantangan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang boleh dibilang rendah. Oleh karenanya,
perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk program pelatihan.
Ia mengungkapkan biaya pengembangan SDM Lotte Mart meningkat hingga 8 kali
lipat sejak 2017-2018. Ini ditempuh perusahaan untuk mendorong pengembangan
bisnis itu sendiri.
"Hampir 45 persen-50 persen operasional ritel offline berada di personal
cost (biaya personal)," tuturnya.
Meski tidak gamblang merincikan nominal, ia menyebut penjualan Lotte Mart
Indonesia tumbuh 4,41 persen dan laba tumbuh 5 persen pada kuartal I 2019.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo)
Roy Mandey mengatakan kenaikan bisnis e-commerce lebih rendah dibandingkan
ritel offline. Tahun lalu, ritel konvensional berhasil tumbuh di rentang 7
persen-8 persen. Tahun ini, targetnya meningkat jadi 10 persen.
Namun, ia tidak menampik terjadi anomali. Menurut dia, konsumen cenderung memilih
ritel offline dengan luasan toko lebih sempit, yakni 1.500-2.000 meter persegi.
Akibatnya, banyak ritel offline dengan luasan 5.000-6.000 meter persegi yang
menyesuaikan fenomena itu dengan efisiensi hingga relokasi gerai.
"Jadi ritel tidak akan hilang, tapi berevolusi terhadap
perubahan yang terjadi baik perubahan teknologi maupun behaviour
konsumen," katanya.
Di sisi lain, untuk menjawab tantangan pesaingnya, beberapa toko offline telah
menyediakan layanan online. Ia menyebut 95 persen dari anggota Aprindo telah
menyediakan layanan offline dan online. Ia mengaku kehadiran lini bisnis online
mendongkrak pendapatan ritel konvensional, meski jumlahnya belum signifikan.
"Jadi ketika kami hadirkan online dalam bisnis kami,
itu menjawab harapan dari masyarakat itu sendiri," tutur Roy.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Tjahya Widayanti
mendorong ritel offline untuk mengembangkan inovasi termasuk mengembangkan
saluran penjualan online. Ini perlu dilakukan guna memenuhi preferensi
masyarakat.
Sebagai regulator ia menyebut pemerintah tengah menyiapkan rancangan Peraturan
Pemerintah tentang perdagangan melalui sistem elektronik.
"Nantinya akan ada level playing field (kesetaraan) yang sama online dan
offline," tandasnya.
Komentar
Posting Komentar