Ilmuwan melakukan penelitian bagaimana stimuli berbeda pada
tikus percobaan bisa mengurangi stres. Mereka
melakukan percobaan terhadap tikus yang ditempatkan pada dua lingkungan.
Pertama adalah tikus yang diberi stimuli dengan memberikan permainan balap
mobil dan di akhir permainan tikus akan diberi hadiah makanan sereal. Sementara
tikus lainnya hanya ditempatkan pada kondisi laboratorium biasa.
Hasilnya, tikus yang diberi stimuli balap mobil ternyata berada pada kondisi
lebih relaks ketimbang tikus laboratorium. Temuan ini menunjukkan bukan hanya
betapa kompleks otak tikus. Tapi juga diharapkan bisa digunakan untuk
mengembangkan pengobatan tanpa obat-obatan kepada pasien dengan gangguan
mental. Hal ini diungkap oleh penulis senior Kelly Lambert dari Universitas
Richmond seperti ditulis AFP.
Menurut Lambert, ia sudah lama
tertarik dengan neuroplasticity. Ini adalah istilah
yang menjelaskan bagaimana kemampuan otak untuk mengubah koneksi dan kemampuan
mereka terhadap pengalaman dan tantangan tertentu. Sebelumnya, dipercaya bahwa
otak bersifat statis dan bawaan, namun studi ini menunjukkan otak bisa
merestrukturisasi dirinya sendiri, mengutip Nature Review Neuroscience.
Mengutip Britannica, beberapa penelitian menunjukkan bagaimana pasien stroke
bisa mengembalikan fungsi yang hilang lewat latihan mental dan membayangkan.
Terapi ini menggunakan kemampuan neuroplasticity untuk
mengaktifkan kembali bagian otak yang rusak.
Harapannya, penelitian ini bisa digunakan untuk membuat terapi penyembuhan bagi
mereka yang mengalami depresi dan schizophrenia.
"Tidak ada penyembuh untuk schizophrenia dan depresi," jelasnya.
"Dan kita perlu segera mengejarnya dan kami pikir untuk mencoba pada tipe
binatang lain dan tubas berbeda. Saya percaya (perubahan) perilaku bisa
mengubah kimia otak," Lambert.
Sebanyak 17 tikus kecil dilatih selama beberapa bulan untuk mengelilingi
sirkuit berukuran 150x60 sentimeter yang terbuat dari kaca plexiglass.
Mobil itu dimodifikasi agar bisa bergerak sesuai dengan
arahan tikus. Tikus bisa mengendalikan mobil untuk bergerak maju, belok kiri
atau kanan. Mereka menyediakan berbagai model arena balap untuk mengetes
kemampuan navigasi yang lebih sulit.
Temuan mereka menunjukkan tikus yang ditempatkan di lingkungan yang lebih
banyak mengandung stimuli punya performa lebih baik dari tikus lab.
Mereka juga meneliti feses tikus untuk mengecek keberadaan hormon stres
kortikosteron dan dehidroepieandrosterone yang berfungsi mengatasi stres.
Ternyata tikus-tikus yang ikut terapi punya tingkat dehidroepieandrosterone
yang lebih tinggi. Artinya, tingkat stres mereka lebih rendah.
Tikus yang mengendarai sendiri mobil percobaan mereka bahkan lebih relaks
ketimbang tikus yang menaiki mobil percobaan itu sebagai penumpang saja. Sebab,
para peneliti juga membuat percobaan pada tikus yang menaiki mobil percobaan,
namun gerakan mobil itu dikendalikan oleh manusia. Hal ini menunjukkan mengapa penumpang
mobil bisa lebih stres daripada mereka yang mengemudikan mobil itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar