Pagi itu, pukul 07.00 WIB di
Peunayong, Banda Aceh warga mulai
berbondong-bondong memenuhi pasar jelang bulan Ramadan.
Daging sapi atau kerbau segar,
khususnya bagian paha ditumpuk di atas bangku, digantung di tiang.
Ketika bulan Ramadan tiba, harga daging mulai merangkak naik, khususnya di
Aceh.
Di provinsi ini, harga daging sapi atau kerbau bahkan mencapai klimaksnya
dengan harga di atas Rp150 ribu per kilogram. Parah-parahnya, bisa mencapai
Rp200 ribu per kilogram.
Kondisi ini tentunya jauh berbeda dengan harga daging sapi atau kerbau di hari
biasa yang hanya berada di kisaran Rp130 ribu per kilogram.
Meski demikian permintaaannya tetap tinggi. Warga Aceh tetap memburu daging
sapi atau kerbau ini. Daging ini menjadi salah satu bagian penting dalam
tradisi warga Aceh, uroe meugang untuk menyambut Ramadan.
dibeli dengan cara patungan
atau meuripee. Persis seperti saat Hari Raya Idul Adha.
Untuk menjalankan tradisi meugang ini, keluarga dekat sampai tetangga akan
menyantap ragam masakan denagn bahan utama daging sapi atau kerbau ini. Tradisi
ini dilakukan untuk menyambut datangnya Ramadan, sehari menjelang Idul Fitri,
dan Idul Adha.
Ini tak berarti kalau warga Aceh tak makan daging dalam kesehariannya. Mereka
tetap menyantap daging, hanya saja, 'makna' daging saat meugang terasa berbeda
saat meugang.
Daging hasil meuripee ini dibersihkan dan dipotong-potong berdasarkan catatan
jumlah peserta patungan. Masing-masing peserta patungan akan mendapatkan satu
tumpuk daging. Isinya antara lain daging has, tulang, dan daging bagian dalam.
Seorang ayah akan sangat bangga jika bisa membawa pulang daging sapi atau
kerbau ke rumahnya saat meugang tiba.
Mengutip Antara, ada banyak varian masakan yang dimasak dengan bahan dasar
daging ini antara lain kuah beulangong, gulai nangka, atau pun sie reuboh
(daging rebus).
Sejarah Meungang
Pengamat sejarah dan adat Aceh, M Adli Abdullah mengatakan bahwa Ramadan tanpa
meugang akan terasa sangat hambar di Aceh. Perayaan ini bukanlah kewajiban,
namun sudah kebiasaan.
Tradisi ini sudah digelar di Aceh sejak ratusan tahun lalu dan masih
dilestarikan sejak saat ini. Tradisi ini dimulai sejak masa kepemimpinan Sultan
Alaiddin Iskandar Muda Meukuta Alam.
"Saat itu Sultan mengadakan acara menyembelih hewan ternak sapi dalam
jumlah yang banyak dan dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyatnya," kata
dia.
Perayaan meugang memiliki beberapa dimensi nilai-nilai ajaran Islam
dan adat istiadat masyarakat Aceh. Nilai pertama adalah nilai religius, kedua,
nilai berbagi sesama.
"Bahkan, perayaan meugang ini merupakan momen bagi orang kaya
untuk memberikan sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim, khususnya yang
berada di sekitar tempat tinggal mereka," katanya.
Ketiga, nilai kebersamaan. Itu mengandung arti bahwa tradisi
meugang menjadi hal yang penting karena pada hari itu akan berlangsung
pertemuan silaturrahim yang berada di kampung dengan yang baru pulang dari
perantauan.
"Pada hari meugang itu, masyarakat menyantap aneka masakan
berbahan utama daging sapi dan kerbau secara bersama-sama di rumah orang tua
atau orang yang dituakan dalam keluarganya," katanya menjelaskan.
Kemudian, makna yang keempat dari "meugang" tersebut yakni memberikan
penghormatan kepada kedua orang tua.
"Ini juga mengandung makna bahwa seorang anak, terutama yang hidup di
perantauan merindukan masakan daging dari orang tuanya, sehingga terkadang
mereka khusus pulang ke kampung halaman pada setiap hari meugang," kata
dia.
Sisi lain dari hari "meugang" yakni selain berkumpul bersama keluarga
besar juga karena mengikuti sunnah Rasul yakni Nabi Muhammad SAW tentang
bergembiranya umat Islam ketika menyambut bulan penuh kesucian itu.
Komentar
Posting Komentar