bbestprofit-- Harga minyak mentah berjangka
Brent melemah sepanjang pekan lalu. Pelemahan disebabkan oleh minimnya progres
pembahasan kesepakatan perdagangan
antara Amerika Serikat (AS) dan China. Selain itu, menurunnya kinerja
perindustrian di Jerman dan AS juga memantik kekhawatiran terhadap perlambatan
ekonomi dan Permintaan minyak global.
Dilansir dari Reuters, Senin (25/3), harga minyak
mentah berjangka Brent pada perdagangan Jumat (22/3) lalu ditutup di level
US$67,3 per barel atau merosot sekitar 0,2 persen sepanjang pekan lalu. Pada
perdagangan Kamis (21/3), harga Brent sempat menyentuh level tertingginya dalam
empat bulan terakhir US$68,69.
Sejak awal Januari 2019, harga Brent telah menguat lebih dari 20 persen.
Penguatan disebabkan oleh kebijakan pemangkasan produksi yang dilakukan
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia. Selain
itu, penguatan juga dipicu oleh pengenaan sanksi AS terhadap Iran dan
Venezuela.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI)
sepanjang pekan lalu tercatat menguat 0,8 persen menjadi US$59,04 per barel.
Sama dengan Brent, WTI menyentuh level tertingginya untuk tahun ini pada
perdagangan Kamis (21/3), di level US$60,39 per barel.
Pada Jumat (22/3) lalu, indeks utama Wall Street melemah di kisaran 1 hingga 2
persen setelah data manufaktur (PMI) untuk Maret 2019 menunjukkan kinerja buruk
di Eropa, Jepang, dan AS. Sejumlah survei menyimpulkan tensi perdagangan telah
mempengaruhi output pabrik dan memupus harapan
akan membaiknya laju pertumbuhan ekonomi global.
"Data PMI di Jerman dan
Perancis yang mengecewakan hari ini (Jumat (22/3)) telah memicu kenaikan dolar
AS dan di saat bersamaan juga menekan selera global akan risiko," ujar
Pimpinan Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch.
Nilai tukar dolar AS terhadap euro merangkak ke level tertingginya untuk lebih
dari sepekan pada perdagangan Jumat (22/3) lalu. Penguatan dolar membuat harga
minyak menjadi reltif lebih mahal bagi pemegang mata uang lain.
"Fakta bahwa faktor-faktor makro ini mampu mengimbangi dampak laporan
Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) yang bersifat mendongkrak harga (bullish) membuktikan kerapuhan
kenaikan harga minyak pada tiga bulan terakhir," ujar Ritterbusch.
Pada Rabu (20/3) lalu, data EIA menunjukkan persediaan minyak mentah AS merosot
10 juta barel pada pekan sebelumnya. Penurunan yang dipicu oleh kuatnya ekspor
dan permintaan kilang tersebut merupakan yang terbanyak sejak Juli 2018.
Di tengah perlambatan eksonomi di Asia, Eropa, dan Amerika Utara yang
berpotensi menekan konsumsi bahan bakar, tidak ada progres yang signifikan pada
pembahasan perdagangan antara AS dan China. Perwakilan kedua negara dijadwalkan
bertemu pada 28-29 Maret 2019.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan sebuah stasiun
televisi Jumat (22/3) lalu, Presiden AS Donald Trump menyatakan negosiasi
perdagangan antara AS dan China terus mencatat kemajuan dan kesepakatan akhir
mungkin tercapai.
Jajak pendapat Reuters menunjukkan tiga dari empat
perusahaan Jepang memperkirakan friksi perdagangan AS-China akan terjadi
setidaknya sampai akhir tahun.
Lonjakan produksi lebih dari 2 juta barel per hari (bph) pada produksi minyak
mentah AS sejak awal 2018 telah membuah AS sebagai negara produsen minyak
mentah terbesar dunia di level 12,1 juta bph. Produksi AS mengungguli Rusia dan
Arab Saudi.
Kondisi tersebut mendongrak ekspor minyak AS. Tahun lalu, ekspor minyak AS
telah melonjak dua kali lipat menjadi lebih dari 3 juta bph. Badan Energi
Internasional (EIA) memperkirakan AS menjadi negara net eksportir minyak mentah
pada 2021.
Pekan lalu, perusahaan energi AS mengurangi jumlah rig yang beroperasi untuk
lima pekan berturut-turut. Sebanyak sembilan rig minyan dipangkas sehingga
jumlah rig berada di level terendahnya untuk hampir setahun terakhir. Penurunan
terjadi seiring produsen independen menjalankan rencana untuk mengurangi
belanja seiring pemerintah AS yang memangkas proyeksi produksi minyak shale.
Komentar
Posting Komentar