Konsep Ekonomi Berdikari dan Pembangunan Semesta Berencana Bung Karno

 

- Pasca-Indonesia merdeka, Presiden Sukarno alias Bung Karno berusaha memperbaiki ekonomi masyarakat dengan menerapkan konsep berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri.

Menurut Redaktur Prisma, Associate LP3ES Fachru Nofrian, konsep ekonomi berdikari sudah dijalankan saat masa peralihan pemerintahan Hindia Belanda menuju Indonesia oleh Bung Karno. Menurut dia, konsep Bung Karno itu seolah diabaikan pada saat ini.

"Seharusnya tuntutan itu sampai sekarang tetap kuat, terutama dengan adannya kondisi internasional seperti sekatang yang memperlihatkan pentingnya berdikari secara ekonomi yang selama ini diabaikan," ujar dia dalam diskusi 'Konsep Berdikari dan Pembangunan Semesta Berencana Bung Karno' oleh Megawati Institue, Rabu (29/6/2022) malam.

Menurut dia, ekonomi berdikari yang digagas Bung Karno saat itu dengan adanya Program Benten yang berjalan sejak 1950 hingga 1957. Tujuannya saat itu dengan membangun kewirausahaan masyarakat pribumi.

Meski tak berjalan, Bung Karno tak tinggal diam demi perbaikan ekonomi rakyat. Bung Karno kemudian menggagas Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) yang dirumuskan pada 1959 dan dijalankan pada 1961 hingga 1968.

"Terlepas dari besaran keberhasilannya, tapi Program Benteng harus tetap diapresiasi. Bahwa kita bisa melihat Program Benteng yang lebih ke mikro, dan progam PNSB yang lebih berorientasi kepada penciptaan industri. Itu sangat penting dalam rangka industriliasasi," kata Fachru

"Tentunya kewirausahan juga penting tapi industri yang dikembangkan juga sangat penting," dia menambahkan.

Dia menyebut, saat itu Bung Karno mencoba mengembangkan berbagai sektor di bidang ekonomi, mulai dari keramik di Plered dan Malang hingga industri tekstil di Majalaya.

Terkait dengan kondisi saat ini, Fachru menyebut bisa saja Indonesia mengembangkan industri tanpa campur tangan bangsa asing. Pasalnya, Bung Karno saat itu berani menutup beberapa sektor untuk dikembangkan tanpa campur tangan asing.

Menurut dia, bisa saja indonesia mengembangkan industri nikel dengan sumber daya alam yang mumpuni. Namun perlu diingat, industri tetap membutuhkan investasi.

"Industri yang ada apakah sudah cukup siap menerima investasi tersebut. Katakanlah seandainya investasi itu terjadi di nikel, sejauh mana kesiapan industrialisasi, apakah dapat memberikan penguatan sektor atau antar sektor," kata dia.

"Kalau kita lihat apa yang terjadi juga serasanya belum siap ekonomi domestik, dan pasti akan diperhitungkan juga oleh investor, termasuk investmen rate dan sebagainya. Dan kalau kita mau mengembangkan nikel, ya, secara potensi mungkin ada, tapi secara industri, tadi apakah sudah siap industri tadi berkembang memberikan return," kata dia.

Menurut dia, kebanyakan investor mau menanamkan modalnya untuk barang yang sudah jadi, tidak bahan mentah.

"Pasti investor maunya yang sudah jadi, justru menurut saya yang perlu diutamakan bagaimana menyiapkan biar tidak berangkat dari yang mentah, kalau barangnya masih mentah tentu investor enggak mau. Tapi kalau barangnya sudah jadi dan menghasilkan, investor pasti mau," kata dia.

"Setahu saya, saat zaman PNSB itu, investasi asing itu ditutup, yah, walaupun di beberapa sektor ada investor asing. Saya rasa pembagian sektor saat itu lebih jelas, mana yang boleh dibuka dan tidak, semakin ke sini yang berkembang adalah kalau ditutup maka akan merugikan, padahal soal rugi atau tidak harus dilihat banyak aspek," kata dia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ide Trading dari CGS International Sekuritas: BBRI, BBNI, EXCL, VKTR, INCO, PTPP

Proyeksi IHSG & Rekomendasi Saham BNGA, EXCL, BMRI, dan BKSL Untuk Rabu

BRI Life Menerima 4 Penghargaan dari 3 Institusi,Cetak Kinerja Positif Sepanjang 2023