Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto merayu
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati agar mau membebaskan pungutan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dari aktivitas impor bahan baku kapas. Tujuannya, untuk
menambah daya saing ekspor produk olahan dari bahan baku tersebut.
Airlangga mengatakan usulan pembebasan pungutan PPN muncul dari keluhan para
pelaku industri tekstil dan produk tekstil, seperti Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API). Mereka, kata Airlangga, merasa harga kapas cukup tinggi dalam
beberapa waktu terakhir.
Padahal, kapas merupakan bahan baku industri, sehingga ketika harga kapas
meningkat, maka produk yang dihasilkan pun akan terkerek. Sementara, permintaan
produk ekspor tidak begitu bergairah sejak ekonomi global melambat.
"Kami minta agar PPN-nya di-nol-kan, khususnya untuk kapas karena kapas
nilai tambahnya tidak ada sebagai bahan baku," ungkap Airlangga di
Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/9).
Menurut Airlangga, permintaan ini
sejatinya sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan. Namun demikian, belum ada
keputusan final dari Sri Mulyani. Kendati begitu, Airlangga mengaku cukup
optimistis usulan ini bisa diterima bendahara negara.
Sebab, usulan pembebasan pungutan pajak ini serupa dengan yang pernah diusulkan
kementerian beberapa waktu lalu, yaitu untuk ekspor kayu log alias kayu mentah.
Tujuannya pun sama, untuk meningkatkan kinerja ekspor dari sektor tersebut.
"PPN sudah kami bahas dengan Kemenkeu, salah satunya PPN log kayu (sudah
diusulkan). Nah, ini sejenis dengan log kayu, ini kami bicarakan untuk bahan
baku kapas," katanya.
Sayangnya, Airlangga belum bisa memberi estimasi kapan sekiranya'restu' dari
Sri Mulyani bisa dikantongi. Namun, ia berharap bisa segera mungkin agar ekspor
industri tekstil dan produk tekstil berbahan kapas bisa segera meningkat.
Di sisi lain, Airlangga juga mengatakan bakal melobi Sri
Mulyani agar mau melakukan harmonisasi tarif bea masuk impor untuk sejumlah
bahan baku dari hulu ke hilir. Mulai dari benang, kain, sampai percetakan kain
(printing).
Ini dilakukan agar banjir impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia tidak
serta merta menekan pertumbuhan industri dalam negeri. "Ini agar ekspor
tekstil meningkat di tengah banjir impor, maka perlu harmonisasi supaya
mengurangi impor," tutur dia.
Ketua API Ade Sudrajat mengatakan harmonisasi tarif bea masuk impor diusulkan
karena ada perbedaan pengenaan tarif di hulu dan hilir industri. Misalnya,
untuk produk kain dan garmen dikenakan tarif 5 persen di hulu dan nol persen di
hilir.
Lalu, tarif anti dumping seharusnya 9 persen, namun tak jarang dipungut sampai
kisaran 15 persen hingga 20 persen. Untuk itu, lanjut dia, pemerintah perlu
melihat kembali ketentuan pengenaan tarif bea masuk impor tersebut.
"Itu yang membuat industri kita (Indonesia) lemah.
Maka, pajak-pajak seharusnya bisa ditangguhkan karena tujuannya ekspor,"
pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar