Absurditas Peternakan Sapi RI di Belgia
Seolah frustrasi menyelesaikan "ritual" kenaikan harga daging sapi saban tahun, Menteri BUMN Erick Thohir melontarkan gagasan membeli peternakan sapi di Belgia.
Erick meyakini langkah itu bagai sekali mendayung satu-dua pulau terlampaui -- jadi solusi menekan impor sekaligus mengurangi ketergantungan dari Australia.
Selama ini daging sapi, baik daging beku maupun sapi bakalan, memang mayoritas dipasok dari Australia. Letak geografis yang dekat membuat harga daging dari benua tetangga ini lebih kompetitif.
Sialnya, dua tahun terakhir Australia dilanda bencana: banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan pada 2020, sehingga kinerja industri peternakan Australia merosot drastis. Salah satunya ditandai oleh depopulasi sapi yang signifikan: dari 27,8 juta ekor pada 2002, kini tinggal 21,1 juta ekor (menurun 24,1%).
Jika sebelumnya Negeri Kanguru itu rutin menyuplai daging sapi ke Indonesia, sejak tahun 2020 pasokan terbatas. Australia perlu memulihkan populasi sapinya menjadi level ideal.
Mengikuti hukum pasokan-permintaan, saat pasokan terbatas dengan permintaan tetap, harga sapi impor naik drastis.
Sejak RI mengimpor sapi dari Australia pada awal 1990-an, baru kali ini harga sapi impor dari Australia menyentuh Rp56 ribuan/kg berat hidup (landed cost), lebih mahal dari harga sapi lokal (Rp 47 ribuan/kg berat hidup). Pebisnis penggemukan sapi (feedloter) tak mungkin berharap dapat sapi bakalan dari Australia.
Namun ini tak membuat Belgia tidak serta-merta bisa jadi pengganti. Lokasi yang jauh membuat ongkos angkut mahal. Selain itu, populasi ternak keluarga sapi/lembu di Belgia pun terbatas.
Produksi ternak jenis bovine (keluarga sapi/lembu) di Belgia pada 2019 hanya 2,37 juta ekor (posisi 10 dunia), jauh dari produsen utama seperti Perancis (18,17 juta ekor), Turki (17,22 juta ekor), dan Jerman (11,63 juta ekor).
Produksi jenis cattle (lembu) Belgia pada 2019, menurut data USDA, pun terbatas. Jauh dari produsen utama seperti India (69 juta ekor), Brasil (50,49 juta ekor), Cina (50,7 juta ekor), dan Uni Eropa (28,5 juta ekor). Inilah alasan mengapa selama ini Belgia tidak memasok lembu ke Indonesia.
Sebagai gantinya, pengusaha feedloter kemungkinan besar akan menggantungkan pada sapi bakalan lokal.
Mengingat Krisis 2011-2013
Permintaan sapi bakalan yang jauh lebih besar dari pasokan ini dikhawatirkan bakal menguras sumber daya sapi lokal, seperti yang pernah terjadi pada 2011-2013.
Pada 2011, terdorong keyakinan populasi sapi siap potong cukup, yakni 14,8 juta ekor, secara bertahap kuota impor daging dipangkas: 35% dari kebutuhan pada 2011 menjadi 15,5% pada 2012, dan tinggal 13,4% pada 2013.
Namun rupanya populasi sapi siap potong tidak seperti perhitungan. Dana Rp18 triliun yang digelontorkan sepanjang era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk program swasembada daging sapi tak berbekas.
Hasilnya? Pertama, terjadi pengurasan populasi sapi. Sensus Pertanian 2013 oleh BPS menyimpulkan, populasi sapi turun 19% dari data yang dirilis pada 2011. Pemangkasan impor kemudian membuat banyak sapi dipotong, termasuk betina produktif yang dilarang UU untuk dipotong, karena ada insentif harga yang tinggi.Rata-rata betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan mencapai 31,08% atau 1 juta ekor per tahun (Tawaf, 2013).
Kedua, pengurasan populasi sapi perah. Ketiga, bukan hanya harga daging, impor (daging dan sapi bakalan) juga kian tidak terkendali.
Integrasi Sawit-Sapi
Di era Presiden Joko Widodo, swasembada daging sapi kembali ditargetkan, tapi masih lama: tahun 2026. Program Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Siwab) dan Sapi dan Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan) masih jauh dari berhasil: pasokan sapi masih jauh lebih kecil dari permintaan.
Membeli peternakan sapi seperti digagas Erick Thohir, boleh jadi, segera menuai hasil. Walau gagasan seperti ini bukan hal baru. Pada 2013, saat harga daging tinggi, ada ide membeli peternakan di Australia.
Pertanyaannya, apakah ide ini tepat untuk konteks Indonesia?
Indonesia memiliki sejumlah keunggulan untuk bisa memenuhi kebutuhan daging sapi sendiri. Pertama, memiliki breed lokal unggul, salah satunya sapi Bali. Jenis sapi ini cepat berkembang, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan, kemampuan beradaptasi di lingkungan baru, dan beranak setahun sekali.
Kedua, Indonesia kaya sumber pakan. Bukan hanya banyak, sumbernya juga bervariasi: limbah pertanian (jerami padi, jerami palawija, hortikultura, pelepah sawit), limbah industri pertanian (onggok singkong, kulit nenas, dedak padi, bungkil sawit), budidaya hijauan pakan, dan padang penggembalaan.
Ketiga, di luar wilayah tradisional produksi sapi (Jateng, Jatim, NTB, NTT, dan Sulsel), ada sentra-sentra perkebunan besar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua, serta lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan.
Salah satu yang potensial adalah integrasi sawit-sapi. Kajian Puslitbang Peternakan Kementerian Pertanian (2013), integrasi sawit-sapi bukan hanya zero waste, tetapi juga zero cost.
Peternak sapi menjadi bagian integral dari industri sawit dalam menyuplai kompos dari kotoran sapi. Kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan menjadi biogas. Sebaliknya, campuran bungkil, solid dan rajangan pelepah sawit siap disajikan sebagai pakan sapi. Prinsipnya memanfaatkan yang tersedia.
Saat ini luas kebun sawit Indonesia mencapai 16 juta hektare. Dengan rasio tiap hektare kebun sawit bisa memuat dua ekor sapi, maka potensi breeding farm sawit di Indonesia mencapai 16 juta induk sapi betina dengan potensi 16 juta pedet atau anakan sapi.
Katakanlah separuh potensi itu dimanfaatkan: ada potensi 8 juta pedet. Apabila potensi ini dimanfaatkan, Indonesia bukan hanya berswasembada sapi potong melainkan juga bisa surplus. Tetapi, karena bersifat jangka panjang, langkah ini perlu konsistensi dan kredibilitas kebijakan, dengan disiplin jadwal ketat. Berbeda dengan beli peternakan.
Dalam konteks ini, relevan mendiskusikan efisiensi komersial versus efisiensi sosial. Membeli peternakan sapi di luar negeri walaupun lebih mudah dan lebih murah ketimbang membangun peternakan sapi di domestik akan menimbulkan dampak sosial berbeda.
Bedanya, kalau membeli peternakan di luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yang dalam konsep ekonomi disebut efek pengganda.
Sebaliknya, jika membangun peternakan di domestik meski lebih rumit dan mahal akan menciptakan efek berantai (multiplier effect) di domestik. Efek berantai berupa konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.
Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial.
Komentar
Posting Komentar