Bestprofit - Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan menjamin
penderita kanker usus besar yang obatnya dihapus dari daftar
BPJS Kesehatan masih akan dilayani. Hanya saja, pasien akan ditangani dengan
obat lain yang memiliki khasiat serupa.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan jenis obat substitusi
kini tengah dikaji oleh tim Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) yang berisi
ahli di bidang medis. Rekomendasi PTK diperlukan, karena sesuai di dalam
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, tim tersebut
diberi wewenang untuk mengevaluasi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
"Jadi keluarnya dua obat ini bukan berarti pasien kanker tidak dilayani,
tapi pasti akan ada substitusinya. Jangan sampai nanti terkesan kalau
dikeluarkan, ini tidak akan dilayani," ujar Fachmi, Senin (25/2).
Menurut dia, evaluasi pelaksanaan JKN oleh PTK ini merupakan hal lazim di
negara lain. Ia mencontohkan Inggris yang saat ini juga memiliki Health
Technical Assesment (HTA) yang bernama National Institute of Health and
Clinical Excellence (NICE). Mereka mempunyai tugas serupa dengan PTK di
Indonesia.
"Bahkan mereka juga
melibatkan perguruan tinggi, yang bertugas mengkaji seluruh kebijakan JKN. Tapi
tentu, PTK ini bukan menjadi bagian dari BPJS Kesehatan. Sehingga kapan PTK ini
menyelesaikan kajian mengenai obat substitusi ini, kami juga belum tahu,"
jelas dia.
Ia menuturkan, dihapusnya dua obat kanker ini pun bukan dimaksudkan untuk
menyelamatkan arus kas BPJS Kesehatan. Sebab menurut dia, pengeluaran BPJS
Kesehatan demi obat-obat tersebut tidak signifikan. Hanya saja, ia tak menyebut
berapa pengeluaran BPJS Kesehatan untuk dua obat tersebut pada tahun lalu.
Sekadar informasi, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menaksir
defisit BPJS Kesehatan pada tahun lalu bisa menembus Rp10,98 triliun.
Pemerintah sendiri sudah mengguyur BPJS Kesehatan sebanyak Rp10,1 triliun
sesuai dua kali audit BPKP di tahun lalu.
"Spending-nya untuk dua obat itu
tidak besar. Ini kajian murni mengenai assesment yang
dilakukan oleh tim yang qualified untuk melihat manfaat yang diberikan. Dan
saya hanya menyampaikan saja, ini proses normal di beberapa negara,"
tuturnya.
Sebelumnya, di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/
Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional, obat kanker usus besar
atau kolorektal dihapus dari daftar obat yang ditanggung oleh layanan BPJS
Kesehatan per 1 Maret mendatang.
Dalam keputusan yang dikeluarkan 19 Desember 2018 tersebut setidaknya ada dua
jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan. Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan kanker.
Kedua, cetuximab
yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus
besar).
Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak
masuk dalam formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan. Padahal,
dalam keputusan menteri sebelumnya, obat masih masuk dalam daftar. Obat jenis
tersebut masih ditanggung untuk pengobatan kolorektal dengan peresepan maksimal
sebanyak 12 kali.
Sementara itu untuk jenis cetuximab, dalam keputusan menteri kesehatan yang
baru, pemberian diberikan dengan peresepan maksimal sebanyak enam siklus atau
sampai terjadi terjadi perkembangan atau timbul efek samping yang tidak dapat
ditoleransi mana yang terjadi lebih dahulu.
Komentar
Posting Komentar